Dengan Belajar Kau Bisa Mengajar, Dengan Mengajar Kau Bisa Paham

Translate

Kamis, 14 Juni 2012

WEDA SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA HINDU

Pengertian Weda
Sumber ajaran agama Hindu adalah Kitab Suci Weda, yaitu kitab yang berisikan ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi. Weda merupakan jiwa yang meresapi seluruh ajaran Hindu, laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai-sungai yang amat panjang dalam sepanjang abad. Weda adalah sabda suci atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Kata Veda dapat dikaji melalui 2 pendekatan, yaitu berdasarkan etimologi (akar katanya) dan berdasarkan semantik (pengertiannya).
Weda secara ethimologinya berasal dari kata “Vid” (bahasa sansekerta), yang artinya mengetahui atau pengetahuan. dan dari akar kata ini berubah menjadi kata benda Veda yang artinya kebenaran, pengetahuan suci, kebijaksanaan dan secara semantik berarti kitab suci yang mengandung kebenaran abadi, ajaran suci atau kitab suci bagi umat Hindu. Maharsi Sayana menyatakan bahwa Veda adalah wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang mengandung  ajaran yang luhur (trancendetal) untuk kesempurnaan umat manusia serta menghindarkannya dari perbuatan jahat.
Winternitz dalam bukunya A History of Indian Literature, Volume I (1927) menyatakan bahwa kitab suci Veda (Rg Veda) adalah monument dan susastra tertua di dunia. Ia menyatakan : Bila kita ingin mengerti permulaan dari kebudayaan kita yang tertua, kita harus melihat Rg Veda sebagai susastra tertua yang masih terpelihara. Sebab pendapat apapun yang kita punyai mengenai susastra maka dapat dikatakan bahwa Veda adalah susastra Timur tertua dan bersamaan dengan itu merupakan monumen susastra dunia tertua.
Demikian pula Bloomfield dalam bukunya The Religion of Veda (1908) menyatakan bahwa Rg Veda bukan saja monument tertua tetapi juga dokumen di Timur yang paling tua. Susastra ini lebih tua dari Yunani maupun Israel dan memperlihatkan peradaban yang tinggi di antara mereka yang mendapatkan di dalam pengungkapan dari pemujaan mereka.
Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan kekal abadi serta berasal dari Hyang Widhi Wasa. Kitab Suci Weda dikenal pula dengan Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Weda adalah wahyu yang diterima melalui pendengaran suci dengan kemekaran intuisi para maha Rsi. Juga disebut kitab mantra karena memuat nyanyian-nyanyian pujaan. Dengan demikian yang dimaksud dengan Weda adalah Sruti dan merupakan kitab yang tidak boleh diragukan kebenarannya dan berasal dari Hyang Widhi Wasa.
Bahasa Weda
            Sebagai wahyu Tuhan Yang Maha Esa maka timbul pertanyaan kepada kita, bahasa apakah yang dipakai ketika wahyu itu turun dan demikian pula ketika Veda itu dituliskan pertanyaan ini muncul karena bila merenung dan mengamati berbagai kitab suci yang dikenal di dunia ini, maka bahasa yang dipakai adalah bahasa yang digunakan pada tempat wahyu itu diturunkan. Demikian bila kita melihat bahasa yang digunakan dalam Alquran adalah bahasa Arab, dan tentunya bahasa ini adalah bahasa yang benar menurut mereka yang berbahasa Arab. Sebaliknya kitab Injil yang merupakan kitan suci bagi umat Nasrani, bahasa yang digunakan tentunya bukan bahasa Arab demikian pula bagi umat Hindu, bahasa kitab sucinya berbeda dengan bahasa-bahasa kitan suci kedua agama tersebut di atas. Memperhatikan hal itu, maka dapat disimpulkan bahwa wahyu itu diterima menurut bahasa yang digunakan oleh mereka yang menerima wahyu itu dan para Rsi penerima wahyu Veda menggunakan bahasa Sansekerta. Demikianlah maka seluruh wahyu Veda menggunakan bahasa Sansekerta, dan bahkan bahasa untuk semua susastra Hindu yang berkembang kemudian juga menggunakan bahasa Sansekerta.
Istilah bahasa Sansekerta adalah bahasa yang dipopulerkan oleh Maharsi bernama Panini. Maharsi Panini pada waktu itu mencoba menulis sebuah kitab Vyakarana (tata bahasa) yang kemudian terkenal dengan nama Astadhyayi yang terdiri dari delapan Adhyaya atau bab yang mencoba mengemukakan bahwa bahasa yang digunakan dalam Veda adalah bahasa dewa-dewa. Bahasa dewa-dewa itu dikenal dengan ”Daivivak”. Daivivak berarti bahasa atau ”sabda dewata”.
Kemudian atas jasa Maharsi Patanjali yang menulis kitab ”Bhasa” dan merupakan buku kritik yang menjelaskan kitab Maharsi Panini, yang ditulis pada abad ke II Sebelum Masehi makin terungkaplah nama Daivivak untuk menamai bahasa yang digunakan dalam Veda dan bahasa yang digunakan untuk penulisan karya sastra seperti Itihasa (Sejarah), Purana (ceritra-ceritra kuna/mitologi).
Smrti (Dharmasastra), kitab-kitab Agama dan Darsana yang muncul pada periode berikutnya yang juga menggunakan bahasa Sansekerta. Bahasa sansekerta adalah bahasa yang umum dan digunakan sebagai bahasa pergaulan pada jaman itu.
Penulis yang tampil sesudah Maharsi Panini adalah Maharsi Katyayana. Katyayana hidup di abad ke V Sebelum Masehi, sedangkan Maharsi Panini pada abad ke VI Sebelum Masehi. Katyayana dikenal pula dengan nama Vararuci dan di Indonesia salah satu karya Maharsi Vararuci Sarasmuccaya telah diterjamahkan ke dalam Bahasa Jawa Kuno pada jaman Majapahit yang silam. Melalui Katyayana inilah kita lebih banyak mengenal tentang Maharsi Panini. Pengaruh kitab Astadhyayi karya Maharsi Panini sangat besar dalam perkembangan bahasa Sansekerta. Dengan perkembangannya yang pesat sesudah diturunkannya Veda kemudian para ahli Sansekerta membedakan bahasa Sansekerta ke dalam 3 kelompok, yakni :
1.     Bahasa Sansekerta Veda (Vedic Sanskrit) yakni bahasa Sansekerta yang digunakan dalam Veda yang umumnya jauh lebih tua dibandingkan dengan bahasa Sansekerta yang kemudian digunakan dalam berbagai susastra Hindu seperti dalam Itihasa, Purana, Dharmasastra dan lain-lain.
2.     Bahasa Sansekerta Klasik (Classical Sankrit), yakni bahasa Sansekerta yang digunakan dalam karya sastra (susastra Hindu) seperti Itihasa (Ramayana dan Mahabharata), Purana (18 Mahapurana dan 18 Upapurana), Smrti (kitab-kitab Dharmasastra), kitab-kitab Agama (Tantra) dan Darsana yang berkembang sesudah Veda.
3.     Bahasa Sansekerta Campuran (Hybrida Sanskrit) dan untuk di Indonesia oleh para ahli menamai Sansekerta Kepulauan (archipelago Sanskrit). Baik Sansekerta campuran maupun Sansekerta Kepulauan keduanya ini tidak murni menggunakan kosa kata atau tatabahasa Sansekerta sebagaimana digunakan dalam dua pengelompokkan sebelumnya (Sansekerta Veda dan Sansekerta Klasik). Contoh dari Sansekerta Campuran dapat dijumpai di India terutama pada masyarakat yang tidak menggunakan bahasa Sansekerta (kini menjadi bahasa Hindi) seperti di India Timur dan Selatan, sedang di Indonesia dapat kita lihat dari Stuti, Stava atau puja yang digunakan oleh para pandita di Bali.
Dalam mempelajari Veda dan susastra Hindu yang lain, pengenalan terhadap bahasa Sansekerta sangat diperlukan dan bagi kita di Indonesia disamping mengenal bahasa Sansekerta juga sangat baik untuk memahami pula bahasa Jawa Kuno sebab tanpa mengenal ke dua bahasa ini kurang lengkap pengetahuan kita tentang susastra Hindu baik yang menggunakan bahasa sansekerta maupun Jawa Kuno.
Timbul pertanyaan apakah dalam mempelajari agama Hindu terutama dalam mengucapkan doa apakah mutlak harus menggunakan bahasa Sansekerta ? sebenarnya hal ini tidaklah mutlak, sebab dalam doa yang terpenting adalah diucapkan dengan khusuk, dalam doa kita dapat menggunakan bahasa ibu kita, tetapi bila kita mengucapkan mantra-mantra berbahasa sansekerta, maka pengenalan terhadap bahasa ini sangat diharapkan. Tentang pengucapan mantra, kitab Nirukta (I.18) menyatakan :
”Seseorang yang mengucapkan mantra (Veda) tidak mengerti makna yang terkandung dalam mantra (Veda) itu, tidak memperoleh penerangan rohani, seperti sebatang kayu bakar yang disiram minyak tanah, tidak pernah terbakar bila tidak terdapat api. Demikianlah orang yang hanya mengucapkan (membaca), tidak mengetahui arti/makna mantra (Veda), tidak memperoleh cahaya pengetahuan sejati”.
Penyelidikan terhadap bahasa Sansekerta di Barat telah mulai sejak permulaan abad ke XVII dan motifnya tidaklah murni pada waktu itu, tetapi didorong oleh keinginan untuk menyebarkan missi agama Kristen. Hal ini dibuktikan dengan tulisan-tulisan Dr. Max Muler pada tahun 1886. Ahli-ahli bangsa Barat yang banyak berkecimpung di dalam mempelajari bahasa Sansekerta, antara lain : Max Muller, Weber, Buhler, Sir William Jones, H.T. Colrebrooke, Keilharn, Grimm, Grassmann, Jesperson, C. Wilkin, A. Roger, Griffith, Mac Donald, William Monier, Hillebrant dan sebagainya. Di Indonesia usaha menerjamahkan karya Sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuno telah lama dirintis di Jawa Tengah dan Timur pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu Nusantara termasuk pula di Bali.
Umur Kitab Suci Weda
Umat Hindu meyakini bahwa Veda bersifat ”Anadi-Ananta” yang artinya tidak berawal dan tidak berakhir dalam pengertian waktu. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum itu atau tidak ada sesuatu yang lebih awal dari Veda. Veda berarti sudah ada sebelum pengertian waktu itu ada. Bagaimana hal itu bisa diterima ? Di dalam Veda kita jumpai beberapa ”Sukta” yang menyebutkan nama Rsi, misalnya ”Agastyo-Maitra-Varuni”, yaitu agastya putra Mitra dan Varuna. Bila demikian halnya apakah Sukta itu dikarang oleh Agastya ? Hal ini tidak dapat dijadikan bukti bahwa sebalum Agastya mantra Veda itu belum ada. Kemudian bagaimana kita menyatakan bahwa Veda itu bersifat Anadi atau tanpa awal ? Namun fakta membuktikan bahwa mantra Veda itu tidak disusun oleh para Rsi dan Rsi bukanlah pembuat mantra atau mantrakarta”, Rsi adalah ”Na mantrakarta”, tetapi ”Mantradrastah”, yang mendapatkan mantra.
Baiklah, bila para Rsi menemukan mantra Veda, dimanakah mantra itu berada sebelumnya ? Bila disebut Anadi ini berarti mantra itu selalu ada disana. Umat Hindu yakin bahwa ciptaan Tuhan Yang Maha Esa itu bagaikan sebuah lingkaran, Anadi tanpa awal dan bersifat abadi. Pada setiap ”Kalpa” (sehari Brahma = 4.320.000.000, tahun manusia) tercipta alam semesta baru menggantikan alam semesta sebelumnya yang telah ”Pralaya”. Pada setiap penciptaan, Brahma melakukan meditasi (masa ini disebut ”Svetavarahakalpa”) dan Tuhan Yang Maha Esa (Brahman) muncul dalam wujud ”Omkara”, disebut juga ”Pranava”, dan daripadanya pula muncul alam semesta, Rg Veda, Yajur Veda,Sama Veda dan Atharva Veda. Veda adalah nafas-Nya, oleh karena itu Veda telah ada pada saat Brahman ada, sebelum alam semesta diciptakan. Tentang hal ini, Brhadarnyaka Upanisad menyatakan :
Sa yathardraidhagner abhyahitat prtag viniscaranti, evam va are’symahato bhutasya nihsvasitam, etad yad rgvedo yajurvedah samavedo’tharvangirasa itihasah puran avidya upanisadah slokah sutrany anuvyakhyani vyakhyani asyaivaitani sarvani nihsvasitani”.
Brhadaranyaka Upanisad II.4.10
(Seperti juga sinar api yang dihidupkan dengan minyak campur air, berbagai asap akan keluar dan menyebar, begitu juga Rg Veda, Yajurveda, Samaveda, Ahtarvaveda (Ahtarvangirasa), Itihasa, Purana dan ilmu pengetahuan, Upanisad, sloka, sutra (aphorisme), penjelasan, komentar-komentar. Dari pada-Nya semuanya dinafaskan).
Dapatkah kita hidup tanpa nafas ? Demikian pula halnya Veda disebut ”Anadi-ananta”. Perlu ditekankan bahwa kita tidak menemukan penjelasan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan Veda, karena memang Veda tidak terpisahkan denganNya. Demikian pula halnya kita tidak bisa menciptakan nafas, karena nafas ada bersama dengan hidup kita. Demikian analogi antara Tuhan Yang Maha Esa dengan Veda.
Tentang kapan diturunkannya Veda atau kapankah para Rsi menerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang kemudian kita kenal dengan nama Veda tidaklah dapat diketahui dengan pasti. Berbagai pendapat para sarjana baik di Barat maupun di Timur semuanya tidaklah sama. Perlu juga ditandaskan di sini bahwa Veda pada mulanya diterima secara lisan dan disampaikan pula secara lisan mengingat pada waktu Veda diturunkan itu belum dikenal tulisan. Jadi bahasa lisan lebih dulu digunakan baru kemudian ketika tulisan ditemukan mantra-mantra Veda dituliskan kembali dan tentang penulisan kembali ini, secara tradisional berdasarkan kitab-kitab Purana, Maharsi Vyasa atau Krsnadvaipayanalah yang menyusun atau menuliskan kembali ajaran Veda dalam 4 himpunan (samhita) dibantu oleh 4 orang siswanya, yatu Pulaha atau Paila, diyakini menyusun Rg Veda, Vaisampayana, menyusun Yajurveda, Jaimini menyusun Samaveda dan Sumanti menyusun Atharvaveda. Kembali tentang kapan wahyu Veda diterima oleh para ahli berpendapat :
1.      Vidyaranya menyatakan sekitar 15.000 tahun Sebelum Masehi.
2.      Lokamanya Tilak Shastri menyatakan 6.000 tahun Sebelum Masehi.
3.      Bal Gangadhar Tilak menyatakan 4.000 tahun Sebelum Masehi.
4.      Dr. Haug memperkirakan tahun 2.400 tahun Sebelum Masehi.
5.      Max Muller menyatakan sekitar 1.200-800 tahun Sebelum Masehi.
6.      Heina Gelderen memperkirakan 1.150-1.000 tahun Sebelum Masehi.
7.      Sylvain Levy memperkirakan 1.000 tahun Sebelum Masehi.
8.      Stutterheim memperkirakan 1.000-500 tahun Sebelum Masehi.
Demikian pendapat para sarjana memperkirakan mengenai masa diturunkannya wahyu Veda yang sudah sangat tua dan sampai kini ajaran Veda masih relevan menjadi sumber ajaran agama Hindu dan senantiasa menjadi pegangan bagi umat Hindu.
Maharsi Penerima Wahyu
Sepintas telah dijelaskan tentang para Rsi menerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang kemudian terhimpun dalam kitab suci Veda. Dalam agama Hindu orang-orang suci penerima wahyu disebut Rsi, kata ini mengandung pengertian yang memandang, melihat atau yang memperoleh wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Dalam perkembanganya kita jumpai berbagai sebutan terhadap orang-orang suci antara lain : Muni, Sadhu, Swami, Yogi, Sannyasi, Acarya, Upadhyaya dan lain-lain dan di Indonesia pada jaman dahulu kita mengenal istilah Mpu atau Bhujangga, kini para Pandita dari golongan Vaisnava di Bali disebut pula dengan Rsi. Untuk membedakan Rsi penerima wahyu Veda dengan Rsi para pandita dewasa ini, maka untuk yang pertama disebut Maharsi. Maharsi ini dapat disebut sebagai nabi bagi umat Hindu dan jumlahnya tidaklah seorang, melainkan cukup banyak.
Seorang Maharsi adalah tokoh pemikir dan pemimpin agama, ia juga seorang ”Jnanin”, filosuf dan pejuang dalam bidang agama. Ia adalah penyebar ajaran agama dan sekaligus moralis, pendeknya guru dengan berbagai sifat istimewanya yang serba mulia. Ia rendah hati dan tahan uji, ia memiliki pandangan yang luas dan mampu menatap masa depan, mampu mengendalikan indrianya, suka melakukan tapa, brata, yoga, samadhi, karena itu ia senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai pemimpin agama ia adalah pengayom yang memberikan keteduhan dan kesejukan kepada siapa saja yang datang untuk memohon bimbingannya.
Dengan sifat-sifat tersebut di atas, seorang Rsi adalah seorang rohaniawan, agamawan dan sekaligus seorang pemimpin. Di dalam kitab-kitab Purana kita jumpai pengelompokkan Rsi ke dalam 3 katagori, yaitu :
1.      DevaRsi,
2.      BrahmaRsi,
3.      RajaRsi.
Dengan adanya Rsi ke dalam tiga kelompok itu, secara tidak langsung kita mengetahui bahwa tidak semua Rsi berstatus sebagai ”penerima wahyu”. Pengertian Rsi pada mulanya dipergunakan secara tradisional yang dianggap mampu membongkar rahasia Veda. Keterangan ini dapat kita jumpai dalam kitab Nirukta II.11, salah satu kitab Vedangga, yang menyatakan : ”Bahwa para Rsi ialah mereka yang memperoleh mantra (rsayah mantradrastarah)”, sebagai telah kami kutipkan pada awal dari uraian tentang Veda sebagai wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi Rsi itu ada kaitannya dengan penerimaan mantra, hal ini semakin jelas bila kita membaca seuah Sukta (hymne) dalam Veda yang menyebutkan : Rsi, Devata dan Chanda, sebagai contoha dalah sukta pertama (Pratamasukta) dari Rg Veda yang terdiri dari Rsi : Vaisvamitra dan Madhucchanda, devata : Agni dan Chanda : Gayatri. Pengakuan tentang adanya banyak Rsi atau nabi, bukanlah monopoli agama Hindu. Di dalam Al Qur’an pun diakui bahwa jauh sebelum nabi Muhammad, telah dikenal sejumlah nabi. Kita tidak mempersoalkan mengapa demikian banyaknya Rsi dalam Hindu, karena pada hakekatnya Tuhan Yang Maha Esa menggunakan banyak media untuk menyampaikan ajaran suci-Nya kepada umat manusia. Hindu berpandangan justru dengan banyaknya Rsi itu umat mendapatkan teladan, figur dan penampilannya menjadi panutan, wejangan-wejangannya memberikan kesejukan hati dan kebahagiaan yang tiada taranya, misalnya karya Maharsi Vyasa yang memadukan unsur sejarah dan mitologi dalam karya besarnya Mahabharata dan kitab-kitab Purana senantiasa dinikmati oleh mereka yang kehausan untuk mereguk amrta suci ajarannya.
Disamping pengelompokan ke dalam 3 katagori tersebut di atas, kitab Matsya Purana dan Brahmanda Purana menyebutkan 5 kelompok Rsi, sebagai berikut :
1.      BrahmaRsi,
2.      SatyaRsi,
3.      DevaRsi,
4.      SrutaRsi,
5.      RajaRsi.
Pengelompokkan ini merupakan penyempurnaan pengelompokan sebelumnya dengan menambahkan 2 kelompok baru, yaitu SatyaRsi dan SrutaRsi. Dari istilah-istilah ini dapat dipahami bahwa nama-nama kelompok ini hanya bersifat relatif fungsional dihubungkan dengan fungsi dan sifat yang khas dari seorang Rsi.
Selanjutnya perlu kita tinjau lebih jauh kaitan seorang Rsi dengan tugas yang dibebankan kepadanya. Seorang Rsi sebagai Brahmana, sebagai guru dan sebagai Bhatara (yang memberikan perlindungan). Kata Brahmana adalah istilah umum yang digunakan dalam Veda sebagai gelar untuk menamakan fungsi seseorang sebagai pemimpin upacara agama. Seorang Rsi karena pengetahuannya dapat berfungsi sebagai pemimpin dalam melaksanakan upacara agama, karena itu ia adalah seorang Brahmana. Demikian pula karena memiliki kemampuan untuk mengajarkan dalam rangka penyebar luasan ajaran Veda dan Dharma, maka secara fungsional ia adalah seorang guru. Di dalam Manavadharmasastra disebutkan adanya beberapa jenis guru, demikian pula halnya dengan Brahmana. Seorang guru disebut Acarya, Mahcarya atau Upadhyaya, tetapi guru ini belum tentu seorang Rsi. Seorang disebut Acarya bila ia telah menguasai seluruh isi Veda, termasuk Itihasi, Purana, Vedangga, dan kitab-kitab susastra Hindu yang lain. Sebaliknya seorang Upadhyaya, hanya dianggap cukup bila ia menguasai Vedangga. Selanjutnya seorang Rsi sebagai Bhatara (pelindung) sekaligus seorang pemimpin baik dalam bidang kerohanian, politik dan pemerintahan dan bahkan menjadi panglima perang sebagai contoh adalah Rsi Bhisma, Drona dan sebagainya, di Bali pada masa pemerintahan Dharma Udayana Varmadeva, juga seorang Rsi atau Mpu, yakni Mpu Rajakrta menjabat Senapati Kuturan dan kemudian nama ini populer menjadi Mpu Kuturan yang merintis Kahyangan Tiga dengan Desa Pakraman di daerah ini. Seorang Brahma Rsi menurut kitab Brahmanda Purana tugasnya mempelajari dan mengajarkan Veda, jadi fungsinya sebagai pandita. Adapun seorang yang dinyatakan sebagai Satya Rsi adalah gelar para Rsi yang mempunyai asal-usul langsung dari Tuhan Yang Maha Esa pada permulaan penciptaan dunia ini. Beliau pula yang mula-mula disebut sebagai Bhatara, misalnya Bhatara Manu dan lain-lain. Kelompok DevaRsi dikenal pula dengan nama Prajapati. Di dalam kitab brahmanda Purana disebutkan adanya 9 Prajapati, yaitu : Marici, Bhrgu, Angira, Pulastya, Pulaha, Kratu, Daksa, Atri dan Vasistha. Di antara 9 Prajapati itu ada pula yang disebut-sebut namanya dalam kitab Rg Veda, sebagai Rsi yang dikaitkan dengan mantra-mantra dalam kitab suci ini. Adapun 4 kelompok lainnya (Brahma, Satya, Sruta dan RajaRsi) did alam Brahmanda Purana masing-masing disebutkan berturut-turut : Sonaka, Sananda, Sanatana dan Sanatkumara.
Disamping nama-nama yang telah disebutkan di atas, terdapat pula keterangan lain yang menyebutkan kelompok ”Sapta Rsi” penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam Veda. Menurut kitab-kitab Purana maupun Manavadharmasastra, nama-nama Sapta Rsi dikaitkan dengan jangka waktu tertentu. Satu jangka waktu atau Yuga manusia dibimbing oleh adanya Sapta Rsi disamping Rsi-Rsi lainnya. SaptaRsi atau Sapta Maharsi ini merupakan pengembala utama umat manusia dan penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Adapun SaptaRsi dan keluarga (Gotra) dari Sapta (Maha) Rsi, yang paling banyak disebut adalah : Grtsamada, Visvamitra, Vamadeva, Atri, Bharadvaja, Wasistha dan Kanva. Untuk mengenal lebih jauh tentang masing-masing dari para Rsi itu serta kaitannya dengan turunnya Veda dapat dijelaskan hal-hal penting sebagai berikut :
a. Rsi Grtsamada
Maharsi Grtsamada adalah Maharsi yang banyak dihubungkan dengan turunnya mantra-mantra Veda, terutama Rg Veda mandala II. Hanya sayangnya sejarah kehidupan Maharsi Grtsamada ini tidak banyak diketahui. Dari beberapa catatan diketahui bahwa Grtsamada adalah keturunan dari Sunahotra, keluarga Angira, adapula penjelasan lain yang menyatakan bahwa Grtsamada adalah keturunan Bhrgu. Dengan demikian sejarahnya tidak diketahui dengan pasti, sedang di dalam Mahabharata, ia disebutkan keturunan Maharsi Sonaka. Sunahotra tersebut di atas, dinyatakan sebagai keturunan Bharadvaja.
b. Rsi Visvamitra
Maharsi Visvamitra adalah Maharsi yang kedua yang banyak disebut-sebut namanya dan dikaitkan dengan seluruh mandala III Rg Veda. Kitab mandala III Rg Veda ini terdiri dari 58 Sukta. Setelah diadakan penelitian, ternyata tidak semua Sukta itu dikaitkan dengan nama Visvamitra karena diantara mantra-mantra itu ada menyebutkan Maharsi lainnya, seperti Kusika, Isiratha dan lain-lain. Visvamitra adalah putra Rsi Musika. Apakah dengan disebutkan beberapa nama itu nama Visvamitra ada kaitannya dengan nama keluarga atau nama pribadi. Atau apakah ada hubungan darahantara Visvamitra dengan Isiratha ? Semuanya ini masih memerlukan penelitian. Disamping itu dijumpai pula nama Rsi Jamadagni sebagai Maharsi yang dikaitkan dengan mandala III Rg Veda. Keterangan lain tentang Visvamitra, dinyatakan bahwa Visvamitra bukan seorang Brahmana tetapi seorang Ksatria. Penggolongan status seorang Rsi dengan Catur Varna itu sesungguhnya tidak begitu menentukan karena bukan merupakan  prasyarat seorang Maharsi.
c. Rsi Vamadeva
Maharsi Vamadeva banyak dihubungkan dengan mandala IV kitab Rg Veda. Kurang banyak diketahui tentang riwayat Maharsi ini. Di dalam kitab-kitab Purana diceritakan bahwa Vamadeva sempat mengadakan dialog dengan deva Indra dan Aditi, suatu hal yang tidak dapat dibayangkan oleh pikiran kita, kecuali kita memberikan penafsiran bahwa maksudnya adalah untuk menjelaskan bahwa Vamadeva memperoleh kesempurnaan selagi beliau masih muda. Maharsi Vamadeva disebut memberikan petunjuk untuk mencapai kesempurnaan sejati.
d. Rsi Atri
Maharsi Atri pada umumnya banyak dikaitkan dengan turunnya mantra-mantra mandala V Rg Veda. Sayang sekali kita tidak mengenal banyak tentang Maharsi ini. Di dalam Matsya Purana, nama Atri tidak saja sebagai nama keluarga, tetapi juga sebagai nama pribadi. Dinyatakan bahwa dalam keluarga Atri yang tergolong Brahmana dijumpai pula beberapa nama dari keluarga Atri seperti : Saryana, Udvalaka, Sona, Sukratu, Gauragriva dan lain-lain. Dalam cerita lainnya dikemukakan pula informasi bahwa Maharsi Atri banyak dikaitkan dengan keluarga Angira. Bila kita baca dengan teliti Rg Veda mandala V, tampaknya tidak hanya Maharsi Atri yang menerima wahyu untuk mandala ini, tetapi juga Druva, Prabhuvasu, Samvarana, Gauraviti, Putra Sakti dan lain-lain. Apakah nama-nama ini ada kaitannya dengan Maharsi Atri, masih perlu dikaji kembali. Dikemukakan pula bahwa di antara keluarga Atri, 36 Rsi tergolong penerima wahyu. Jadi cukup banyak dan karena itu kemungkinan nama-nama itu adalah keturunan dari Maharsi Atri.
e. Rsi Bharadvaja
Rsi Bharadvaja adalah Maharsi yang banyak dikaitkan dengan turunnya mantra-mantra dari Mandala VI, kecuali ada beberapa saja yang diturunkan melalui Sahotra dan Sarahotra. Adapun nama-nama lain, seperti Nara, Gargajisva adalah nama Rsi penerima wahyu dari keluarga Bharadvaja. Did alam kitab-kitab Purana dijelaskan bahwa Bharadvaja adalah putra Brihaspati, cerita ini belum dapat dipastikan kebenarannya karena disamping keterangan lain yang mengatakan bahwa Samyu dengan Bharadvaja masih dalam satu keluarga. Kitab-kitab Purana tidak banyak memberikan penjelasan.
f. Rsi Vasistha
Nama Vasistha sering digunakan sebagai nama keluarga kadang kala sebagai nama pribadi. Rsi Vasistha banyak dikaitkan dengan turunnya mantra-mantra mandala VII Rg Veda. Salah seorang keturunan Rsi Vasistha adalah Rsi Sakti yang juga terkenal sebagai penerima wahyu. Tentang keluarga Vasistha ini tidak banyak kita kenal. Di dalam kitab Mahabharata nama Vasistha disamakan dengan Visvamitra. Di dalam kitab Matsya Purana, dinyatakan bahwa Rsi Vasistha mengawini Arundhati, saudara perempuan Devarsi Narada. Dari padanya lahir seorang putra bernama Sakti.

g. Rsi Kanwa
Maharsi Kanwa merupakan Maharsi penerima wahyu dan banyak dikaitkan dengan mandala III Rg Veda. Mandala ini isinya bermacam-macam Sukta. Kanva adalah nama pribadi dan juga nama keluarga. Mandala VIII dinyatakan diterima oleh keluarga Sakuntala. Disamping Rsi Kanva terdapat pula nama-nama Rsi lainnya seperti Kasyapa, putra Marici. Maharsi Kanva mempunyai putra bernama Praskanva. Nama-nama Rsi yang lain yang juga dapat dijumpai dalam mandala VIII adalah: Gosukti, Asvasukti, Pustigu, Bhrgu, Manu, Vaivasvata, Niopatithi dan sebagainya. Adapun mandala IX dan X Rg Veda merupakan mandala yang paling lengkap. Mandala ini memuat pokok-pokok ajaran agama Hindu yang sangat penting dan sangat bermanfaat untuk diketahui. Disamping nama-nama Rsi sebagai telah dikemukakan di atas, tampaknya penggunaan Rsi itu telah cukup merasuk sampai ke Bali. Dalam mempelajari perkembangan agama Hindu di daerah ini, kita jumpai pula tokoh-tokoh yang juga disebut Sapta Rsi yang bertanggung jawab terhadap perkembangan agama Hindu. Apakah ini suatu kebetulan atau memang secara konsepsional diprogramkan kini kita warisi adanya Panca Rsi seperti : Mpu Agnijaya, Mpu Kuturan, Mpu Sumeru, Mpugana dan Mpu Bharadah.
            Disamping ketujuh maharsi itu dikenal pula adanya 29 orang Maharsi penerima wahyu dan mereka itu terkenal dengan sebutan Nawawimsati krtya ca Veda vyastha Mahasibhih yaitu Maharsi Swasyambhu, Daksa, Usana, Wrhaspati, Aditya, Mrtyu, Indra, Wasistha, Saraswata, Tridathu, Tridrta, Sandhyaya, Akasa, Dharma, Tryaguna, Dhananjaya, Krtyaya, Ranajaya, Bharadwaja, Gotama, Uttama, Parasara, dan Maharsi Wyasa. Menurut tradisi Hindu, Maharsi terbesar dan sangat banyak berjasa dalam menghimpun dan mengkodifikasikan Weda adalah Maharsi Wyasa. Maharsi inilah yang mengkodifikasi Catur Weda Samhita yang dibantu oleh empat orang siswanya, yaitu:
a)                  Maharsi Paila atau yang disebut pula Pulaha adalah penyusun Reg Weda Samhita.
b)                 Maharsi Waisampayana disebut sebagai penyusun Yajur Weda Samhita.
c)                  Maharsi Jaimini disebut sebagai penyusun Sama Weda Samhita.
d)                 Maharsi Sumantu disebut sebagai penyusun Atharwa Weda Samhita.
Disamping sebagai penghimpun kembali Catur Weda Samhita, Maharsi Wyasa atau Krsnadvaipayana juga menyusun kitab Mahabharata, Bhagawad Gita, dan Brahmasutra.

Pembagian dan Isi Weda
Kelompok kitab Weda atau Sruti menurut sifat isinya dapat dibedakan atas empat bagian, yaitu :
1.     Samhita, yakni himpunan mantra-mantra Veda yang mengandung Upasana (doa kebaktian, pemujaan, ucapan-ucapan syukur, petunjuk upacara korban), ajaran filsafat dan lain-lain.
2.     Brahmana, yakni uraian yang panjang tentang ketuhanan/teologi teristimewa observasi tentang jalannya upacara korban atau mistis dari upacara korban yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun upacara-upacara besar lainnya.
3.     Aranyaka dan Upanisad. Yang pertama berarti buku hutan dan yang kedua artinya ajaran yang bersifat rahasia, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kitab-kitab ini.
Kitab mantra atau mantra samhita umurnya sangat tua. Kitab ini ditulis dalam bentuk syair atau prosa liris, bahasanya sansekerta Weda (Weda Samskirt), yaitu jenis bahasa sansekerta yang tertua. Syair-syair tersebut terkumpul dalam 4 himpunan mantra yang masing-masing disebut “Samhita” Ada empat jenis Samhita yang masing-masing menunjukkan perbedaan tajam yang sampai kepada kita dalam satu atau lebih resensi, yakni :
1.                  Rg Veda Samhita, yakni himpunan rc atau rk. Rg Veda artinya pengetahuan suci yang berhubungan dengan Veda akan menjadi Rg Veda (tidak Rkveda) sesuai hukum bahasa Sansekerta. Reg Weda terdiri dari 10.552 mantra. Isinya adalah syair-syair pujaan. Reg Weda adalah Weda yang tertua dan yang terpenting. Isinya terbagi atas 10 mandala atau buku. Mandala kesepuluh adalah mandala yang terpenting, karena menunjukkan kebenaran yang mutlak. Pendeta Reg Weda disebut Hotr (Hotri).
2.               Yajurveda Samhita, yakni himpunan mantra Yajus yang memuat doa-doa pujaan, pengetahuan suci tentang upacara korban (yajus bentuk jamaknya yajumsi). Yajur Weda ini terdiri dari 1. 975 mantra. Beberapa di antaranya mantra-mantra itu ada yang berbentuk prosa liris. Jenis Weda ini ada dua macam, yaitu :
a)  Krisna Yajurveda Samhita (Yajurveda hitam) yang tersedia dalam berbagai resensi dan Taittiriya Samhita dan Maitrayani Samhita merupakan resensi yang sangat penting. Mantra Yajur Weda ini menguraikan tentang arti dari upacara itu sendiri.
b)  Sukla Yajurveda Samhita (Yajurveda Putih) yang tersedia adalah Vajasanevi Samhita (Wijasaneyi Samhita). Mantra Yajur Weda ini diucapkan sebagai doa-doa dalam suatu upacara.
Pendeta penyanyi Yajur Weda itu disebut Adwaryu
3.         Samaveda Samhita, yakni himpunan mantra Saman, pengetahuan atau menembangkan mantra-mantra Veda, yang isinya merupakan nyanyian pujaan yang dinyanyikan pada waktu upacara. Sama Weda, terdiri dari 1.875 mantra.

Kata Sama berarti irama atau melodi. Pendeta penyanyi Sama Weda disebut Udgatr (Udgatri) atau dinamakan pula Udgatra.
4.         Atharvaveda Samhita, yakni himpunan dari Atharvan, pengetahuan suci yang memberikan manfaat berhubungan dengan kehidupan di dunia ini. Atharwa Weda terdiri dari 5.987 mantra. Diantara mantra-mantra itu banyak yang berbentuk prosa. Isinya ialah tuntunan hidup sehari-hari yang berhubungan dengan hidup keduniawian. Banyak mantranya itu yang bersifat magis. Pendeta penyanyi Atharwa Weda disebut Brahmana.
Kitab-kitab Brahmana memuat ajaran dan kewajiban-kewajiban hidup beragama. Kewajiban ini antara lain adalah kewajiban untuk melakukan upacara korban atau yadnya. Setiap kitab Weda memiliki kitab Brahmananya sendiri-sendiri, kitab Reg Weda memiliki kitab Brahmana 2 buah, yaitu:  Aetareya Brahmana dan Kausitaki Brahmana yang juga disebut Sankhyana Brahmana. Kitab yang pertama dikatakan terbagi atas 40 bab sedangkan kitab yang kedua terdiri atas 30 bab. Kitab Sama Weda memiliki beberapa kitab Brahmana, yaitu : 1) Tandya Brahmana (Panca Wirusa) kitab ini memuat legenda yang ada kaitannya dengan upacara yadnya. 2) sadwirusa Brahmana, kitab ini terdiri dari 25 buku, sedangkan yang terakhir atau yang ketiga disebut Adbhuta Brahmana yang memuat berbagai macam ramalan dan penjelasan berbagai ilmu gaib. Kitab Yajur Weda memiliki 2 kitab Brahmana yang sampai kepada kita yaitu:1) Taittiriya Brahmana (Milik Kresna YajurWeda), dan 2)Saptatha Brahmana (milik Sukla Yajur Weda) atau Yajur Weda Putih. Kitab Atharwa Weda memiliki kitab Gopatha Brahmana.
Kitab Aranyaka merupakan kelanjutan dari kitab Brahmana. Atas dasar ini pulalah rupanya ada beberapa kitab Brahmana dari Reg Weda bertafsirkan Aetareya Arunyaka, seperti : Aetareya Brahmana dari RegWeda bertafsirkan Tandya Aranyaka, Satapatha Brahmana dari Sama Weda bertafsirkan Tandya Aranyaka, Satapatha Brahmana bertafsirkan Satapatha Aranyaka dan Gopatha Brahmana dari kitab Atharwa Weda bertafsirkan Gopatha Aranyaka. Kelompok kitab-kitab ini disebut rahasia karena isinya membahas hal-hal yang bersifat sangat rahasia
Setiap Weda dari Catur Weda itu dinyatakan memiliki kitab Upanisadnya sendiri-sendiri, yang perinciannya adalan sebagai berikut:
a)      Upanisad yang termasuk kelompok Reg Weda, yaitu Aitareya, Kaushitaki, Nada-Bindu, Atmaprabodha, Nirwana, Mudgala, Aksamalika, Tripura, Saubhaya, dan Bahwrca Upanisad. Jumlah semua kitab Upanisad yang termasuk jenis Reg Weda adalah 10 buah.
b)     Upanisad yang tergolong jenis Sama Weda, yaitu Kena, Chandogya, Aruni, Maitrayani, Maitreyi, Wajrasucika, Yogacudamani, Mahat, Sanyasa, Awyakta, Kondika, Sawitri, Rudrasajabala, Darsana, dan Jabali Upanisad. Semuanya berjumlah 16 Upanisad.
c)       Upanisad  yang tergolong jenis Yajur Weda, yaitu :
-           Untuk jenis Yajur Weda Hitam, terdiri dari : Kathawali, Taittiriyaka, Brahma, Kaiwalya, Swestaswatara, Garbha, Narayana,Amrtabindu, Asartanada, Kalagnirudra, Kausika, Sukharahasya, Tejobindu, Dhayanabindu, Brahmawidya, Yogatattwa, Daksinamurti, Skanda Sariraka, Yoga Sikha, Ekaksara, Aksi, Awadhuta, Katha, Rudrahrdaya, Yogakundalini, Pancabrahma, Pranagnihotra, Waraha, Kalisandarana, dan Saraswatirahasya Upanisad.
-           Untuk jenis Yajur Weda Putih, terdiri dari: Iswasya, Brhadaranyaka, Jabala, Hamsa, Paramahamsa, Subata, Mantrika, Niralambha, Trisikhi Brahmana, Mandala Brahmana, Adwanya-taraka, Pinggala, Bhiksu, Turiyatita, Adhyatma, Tarasara, Yadnawalkya, Satyayani, dan Muktika Upanisad. Semuanya berjumlah 19 Upanisad.
d)        Upanisad yang tergolong jenis Atharwa Weda, yakni : Prasna, Munduka, Atharwasira, Atharwashika, Brhajjabala, Nrsimhaatapini, Naradapariwrajaka, Sita, Sarabha, Mahanarayana, Ramarahasya, Ramatapini, Sandilya, Paramahamsa-pariwrajaka, Annapurna,Surya, Atma, Pasupata, Parabrahmana,Tripuratapini, Dewi, Bahwana, Ganapati, Mahawakya, Gopalatapini, Krisna, Hayagriwa, Dattatreya, dan Garuda Upanisad. Semua berjumlah 31 Upanisad.
Kata Upanisad berarti duduk di bawah dekat seorang guru untuk menerima ajaran-ajaran yang bersifat rahasia. Pokok dalam ajaran Upanisad berkisar pada dua asas, yaitu: Brahman (asas alam semesta) sedangkan Atman (asas manusia). Diantara Upanisad-upanisad itu ada 12 buah Upanisad yang dipandang paling penting, yaitu Isa Upanisad, Kena Upanisad, Kartha Upanisad, Aitareya Upanisad, Taitiriya Upanisad, Kausitaki Upanisad, dan Swetaswatara Upanisad.
Setelah kitab Sruti, maka menyusulah kitab-kitab Smrti bagi sumber ajaran agama Hindu. Smrti artinya ingatan. Sumber Smrti adalah juga ajaran Weda yang jumlahnya sangat banyak. Dari semuanya itu dapat digolongkan ke dalam 2 kelompok, yaitu: 1) kelompok Wedangga, 2) Kelompok Upaweda.
Kelompok Wedangga (Batang tubuh Weda) meliputi :
a.       Siksa : pengetahuan tentang ucapan mantra Weda.
b.      Wyakarana : pengetahuan tata bahasa.
c.       Chanda : lagu (melagukan syair Weda)
d.      Nirukta: keterangan tentang arti kata-kata dalam kitab suci Weda
e.       Jyotisa : ilmu perbintangan
f.       Kalpa : kelompok wedangga yang terbesar dan terpenting. Kitab Kalpa memiliki buku-buku pedoman yang jumlahnya cukup banyak, beberapa di antaranya adalah:
-          Srauta Sutra isinya terutama membahas tentang berbagai cara pemujaan pemeliharaan atau melakukan penghormatan kepada Tryagni, yaitu: Daksinaagni, Ahawaniyaagni, Grhapatyaagni.
-          Grhya Sutra isinya memuat Samskara atau Sangaskara, adat- istiadat, kebiasaan yang berlaku bagi kelompok tertentu yang harus diperhatikan mulai dari upacara Garbhadana sampai upacara Antyesti.
-          Dharmasutra isinya memuat aturan-aturan dasar yang mencakup bidang hokum, agama, kebiasaan atau acara dan sista cara, kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap golongan masyarakat. Penulis Dharmasutra yang akhirnya memunculkan kitab-kitab Dharmasutra pada zaman dahulu adalah sebagai berikut :
1)            Bhagawan Manu
2)            Bhagawan Apastamba
3)            Bhagawan Bhaudayana
4)            Bhagawan Harita
5)            BhagawanWisnu
6)            Bhagawan Wasista
7)            Bhagawan Waikanasa
8)            Bhagawan Sankha Likita
9)            Bhagawan Yajnawalkya
10)        Bhagawan Parasara
            Adapun kitab Dharma Sastra dari tiap-tiap yuga adalah sebagai berikut :
a.  Bhagawan Manu menulis Kitab Manawa Dharma Sastra untuk zaman Krtha   Yuga
b.Bhagawan Yajnawalkya menulis Gautama Dharma Sastra  untuk zaman Treta Yuga
c.  Bhagawan Samkha Likita menulis Kitab Samkhalikita Dharma Sastra untuk zaman Dwapara Yuga
d.          Bhagawan Parasara menulis Kitab Parasara Dharma Sastra untuk zaman Kali Yuga
-     Sulwa Sutra isinya memuat peraturan-peraturan mengenai tat cara membuat tempat peribadahan, seperti Pura, Candi, dan bangunan-bangunan lain yang berhubungan dengan ilmu arsitektur. Ada beberapa kitab yang termasuk dalam kelompok Sulwasutra, yaitu : Silpa Sastra, Kautuma, Wastuwidya, Manasana, Wisnudharmotara-purana, dan sebagainya.
Kelompok Upaweda meliputi :
a.    Ilmu obat-obatan atau Ayurweda
b.   Ilmu musik atau Gandharwaweda
c.    Ilmu kemiliteran atau panahan yang disebut Dhanurweda
d.   Ilmu politik atau ilmu pemerintahan atau tentang dunia yang juga sering disebut Arthasastra.
Selanjutnya tentang isi Veda dapat kita menganalisa dengan menggunakan dasar-dasar pendekatan sesuai kitab Bhagavadgita, yakni mengelompokkan isi Veda dalam 5 topik, sebagai berikut :
1.      Yang mengandung ajaran Bhakti atau Bhaktiyoga.
2.      Yang mengandung ajaran Karma atau Karmayoga.
3.      Yang mengandung ajaran Jnana atau Jnanayoga.
4.      Yang mengandung ajaran Rajayoga dan
5.      Yang mengandung ajaran Vibhutiyoga atau ajaran yang bersifat mistis.
Mengingat mantra-mantra Veda sukar dipahami dan mungkin kurang menarik minat bagi umat yang awam dibidang kerohanian, para Rsi menyusun kitab-kitab sastra sebagai alat bantu memahami ajaran tersebut. Tentang hal ini, Maharsi yang juga Adikavi Valmiki menyatakan dalam karya agung beliau Ramayana, bahwa disusunnya mahaviracarita ini sebagai sarana untuk lebih memudahkan umat memahami kitab suvi Veda. Demikian pula MahaRsi Vyasa atau Krsnadvaipayana yang juga berabhiseka Vedavyasa menegaskan untuk memahami Veda perlu dijelaskan melalui Itihasa dan Purana.

Cara Mempelajari Weda
 Menghayati Weda tidak cukup hanya melihat aspek Sruti dan Smrtinya saja  tetapi seluruh produk Smrti dan Wibandha/nibhanda itupun perlu harus dihayati dan dikaji. Oleh karena itu Bhagawan Wararuci (Kathyayana) didalam kitab Sarasamuccayanya seseorang mempelajari pula Itihasa dan Purana karena mereka yang tidak menghayati suplemen Weda itu tidaklah dapat menghayati Weda dengan baik.
itihasa Puranabhyam vedam samupabrmhayet.
Bibhetyalpasrutaad vedo mamayam praharisyati.
(Vayu Purana. 1.20)
Maksudnya:
Hendaknya memahami makna Veda melalui Itihasa dan Purana. Veda takut pada orang yang sedikit pengetahuannya. Veda berpikir bahwa ia akan memukulnya.
sloka vayu purana  di atas, pada jaman kejayaan majapahit diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno termuat dalam kitab Sarasamuccaya yang merupakan karya kompilasi dari mahàrsi Vararuci sebagai berikut :
Ndan Sang Hyang Veda paripùróakêna sira, maka sàdhana sang hyang Itihàsa,sang hyang Puràna, apan atakut sang hyang Veda ring
wwang akêdik ajinya, ling nira, kamung hyang haywa tiki umàra ri kami ling nira mangkana rakwa atakut.
Sarasamuccaya 39.
(Veda itu hendaknya dipelajari dengan sempurna melalui jalan mempelajari Itihàsa dan Puràna sebab Veda itu akan takut kepada orang-orang yang sedikit pengetahuannya, sabdanya:wahai tuan-tuan jangan datang padaku,demikian konon sabdanya karena takut).
Sloka Vayu Purana yang dikutip di atas diulang kembali dalam Sarasamuscaya 39 dan dijelaskan dalam bahasa Jawa Kuna. Maksud Sloka Vayu Purana ini memberikan kita tuntunan dasar yang prinsip dalam memahami ajaran suci Veda. Veda memang tidak bisa dipelajari dengan cara sembarangan.
Sebelum terjun mempelajari Veda dibutuhkan dasar-dasar pengetahuan awal sebagai medianya terlebih dahulu. Mungkin hal inilah di Bali muncul istilah ayua wera. Maksud istilah ayua wera ini adalah sebagai suatu rambu-rambu agar jangan orang sembarangan mempelajari Veda. Sayangnya hal ini disalah artinya pada zaman dahulu.
Anak-anak dan pemuda pada masa lampau dilarang belajar Veda. Sesungguhnya bukan demikian maksudnya. Jadinya, memahami arti dan makna Veda tidak bisa langsung terjun mendalami Mantra-Mantranya. Ia harus dipahami melalui Itihasa dan Purana terlebih dahulu. Jadinya ajaran suci Veda bukanlah tidak boleh disebarkan. Apa lagi dalam Mantra Yajurveda XXVI.2 menyatakan bahwa hendaknya ajaran suci Veda ini disampaikan kepada seluruh umat manusia, kepada Brahmana, Ksatria, Vaisya, Sudra bahkan kepada orang asing sekalipun.
Jadi ajaran suci Veda ini bukanlah monopoli suatu golongan tertentu saja. Meskipun Veda harus disebarkan kepada siapa saja, tetapi Manawa Dharmasastra 11.114 menyatakan bahwa Veda itu adalah kekayaan rohani hendaknyalah dipelihara dengan baik dan janganlah diajarkan kepada mereka yang tidak percaya.
Dengan demikian Veda itu akan sangat kuat memberikan pegangan kepada yang percaya. Demikian Sloka Manawa Dharmasastra itu menegaskan. Jadinya yang boleh diajarkan Veda hanya mereka yang percaya.
Mengapa Veda harus dipahami melalui Itihasa dan Purana tidak langsung pada Mantra Mantra Veda? Menurut Swami Siwananda dalam bukunya All About Hinduism menyatakan bahwa Mantra-Mantra Veda tergolong Prabhu Samhita sedangkan Sloka Itihasa dan Purana tergolong Suhrita Samhita.
Prabhu Samhita artinya syair-syair suci Veda itu penuh wibawa tidak begitu mudah menjangkaunya. Sedangkan syair-syair Sloka Itihasa dan Purana disebut Suhrita Samhita artinya kumpulan syair yang lebih ramah sehingga lebih mudah memahaminya.
Dengan demikian weda dipelajari pertama-tama dari cerita-cerita seperti Mahabharata, Ramayana, dan purana-purana. Dalam tradisi nusantara yaitu belajar etika dan agama dari dongeng, dogeng mendongeng ini banyak diterapkan di berbagai belahan dunia, salah satu yang terkenal yaitu kisah 1001 malam, kisah ini konon bersumberkan ajaran veda yaitu panca tantra yang kemudian di nusantara digubah oleh leluhur kita menjadi kisah tantri kamandaka.
Kebijaksanaan dan kebahagiaan akan dapat dicapai bila seseorang telah benar-benar menghayati Weda sebagai kenyataan. Dari Manusmrti II. 12. telah menegaskan bahwa kebajikan yang merupakan hakikat daripada Dharma diwujudkan didalam dunia ini berdasarkan norma yang tertera dan tersirat didalam Sruti, Smrti, Sadacara, Sila dan Atmanastusti dan karena itu didalam menulis tingkah laku manusia, lembaga-lembaga Hindu dalam lingkungan masyarakat Hindu tidak dapat lepas dari norma-norma sebagai mana terdapat didalam berbagai sumber itu.
Tingkah laku manusia bermasyarakat ditandai oleh berbagai jenis menurut pribadi maupun secara bermasyarakat, memiliki menentukan dimana kita akan memperoleh sumber hukum yang dapat dipergunakan didalam mencari materinya.
Sebagai gambaran perbandingan yang mudah. Wedasruti adalah merupakan UUD agama Hindu sedangkan Wedasmrti adalah UUP agama Hin  du. Sebagai undang-undang agama, materi isinya sangat luas, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, ciri-ciri dari tiap-tiap jenis buku dengan pokok permasalahan yang menjadi dasar isi dari pada kitab itu harus dihayati. Sebagai halnya seorang ahli hukum yang hendak mencari pasal mengenai bidang hukum perdagangan ia harus mencari didalam kitab hukum Dagang dan tidak didalam kitab hukum agama atau syariat agama Hindu harus dicari didalam Dharmasastra sedangkan untuk tata laksana ritual harus dicari didalam kitab-kitab Brahmana, Grhyasutra, Srautasutra dan lain-lainnya.
Inilah yang harus dihayati dan dipegang sebagai pedoman didalam mengkaji segala permasalahan hukum dan ajaran agama. Memang harus disadari bahwa materinya kadang-kadang overlaping antara satu buku dengan buku yang lain. Kadang-kadang terdapat pula kekaburan isi yang sulit dipahami oleh orang-orang awam. Akan lebih sulit lagi kalau sampai didalam pelaksanaan ajaran agama itu tidak dapat perumusan-perumusan yang tegas sehingga tidaklah mudah bagi seseorang menentukan mana yang benar dan salah menurut ajaran Hindu.
Weda Sebagai Sumber Ajaran Agama Hindu
Satu-satunya pemikiran yang secara tradisional yang kita miliki adalah yang mengatakan bahwa Veda adalah kitab suci agama Hindu. Sebagai kitab suci agama Hindu maka ajaran Veda diyakini dan dipedomani oleh umat Hindu sebagai satu-satunya sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk waktu-waktu tertentu. Diyakini sebagai kitab suci karena sifat isinya dan yang menurunkan (mewahyukan) adalah Tuhan Yang Maha Esa yang Maha Suci. Apapun yang diturunkan sebagai ajaran-Nya kepada umat manusia adalah ajaran suci terlebih lagi bahwa isinya itu memberikan petunjuk atau ajaran untuk hidup suci.
Sebagai kitab suci, Veda adalah sumber ajaran agama Hindu sebab dari Vedalah mengalir ajaran agama Hindu. Ajaran Veda dikutip kembali dan memberikan vitalitas terhadap kitab-kitab susastra Hindu pada masa berikutnya. Dari kitab Veda (Sruti) mengalirlah ajaran Veda pada kitab-kitab Smrti, Itihasa, Purana, kitab-kitab Agama, Tantra, Darsana dan Tattwa-tattwa yang kita warisi di Indonesia. Swami Sivananda menyatakan : ”Veda adalah kitab tertua dari perpustakaan umat manusia. Kebenaran yang terkandung dalam semua agama berasal dari Veda dan akhirnya kembali pada Veda. Veda adalah sumber ajaran agama, sumber tertinggi dari semua sastra agama berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Veda diwahyukan pada permulaan adanya pengertia waktu”.
Veda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di dunia ini dan di akhirat nanti. Veda menuntun tindakan umat manusia sejak lahir sampai pada nafasnya yang terakhir. Veda tidak terbatas pada tuntunan hidup individual, tetapi juga dalam hidup bermasyarakat. Bagaimana hendaknya masyarakat bersikap dan bertindak, tugas-tugas aparatur pemerintah melaksanakan tugasnya, bagaimana tingkah laku seorang ibu. Segala tuntunan hidup ditunjukkan kepada kita terhimpun dalam kitab suci Veda.
Saran
            Berdasarkan ulasan tersebut, maka penulis menyarankan kepada :
  1. Dosen pengampu mata kuliah Agama Hindu Universitas Mahasaraswati Denpasar, secara prinsip pengenalan Weda sebagai kitab suci agama Hindu sangat penting bagi mahasiswa, terutama mahasiswa yang kelak akan berkecimpung pada bidang pendidikan atau profesi guru. Menerapkan bidang ilmu yang ditekuni oleh seorang guru dengan berasaskan ajaran Weda akan memberi kontribusi yang positif bagi perkembangan mental, moral, dan intelektual peserta didik.
  2. Pembaca, melalui makalah ini pembaca agar bisa lebih selektif dalam memahami ajaran-ajaran ataupun nilai moril yang terkandung dalam ajaran Weda sebagai landasan dalam mengambil sikap positif berkehidupan. Dengan dorongan pemahaman terhadap ajaran-ajaran Weda, maka pembaca mampu mengamalkan ajaran-ajaran Weda dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus menyimpang dari rel dharma.  

DAFTAR PUSTAKA


Ida Bagus Sudirga, dkk. 2003. Agama Hindu Untuk SMU Kelas I, Jilid I. Jakarta : Ganeca Exact


"SEMOGA PIKIRAN YANG BAIK DATANG DARI SEGALA PENJURU"





 

1 komentar:

  1. kak postingannya sebenarnya bermanfaat. tapi tampilannya bikin sedikit sakit mata mungkin karena model tulisan atau backgroundnya

    BalasHapus